Pekan Keluarga Jemaat - HUT X, GKP "Galilea" Tanjung Priok
BERJUMPA
DENGAN TUHAN
DALAM
KEHIDUPAN KITA
PEKAN KELUARGA JEMAAT
HUT X GKP GALILEA TANJUNG PRIOK
20 – 26 Juli 2015
Senin, 20 Juli 2015
MenYATAKAN ALLAH
Tidak ada seorang pun yang pernah melihat
Allah; tetapi Anak Tunggal Allah,
yang ada dalam pangkuan Bapa, Dia-lah yang
menyatakan-Nya. (Yohanes 1:18)
Selamat hari jadi GKP “Galilea”
Tanjung Priok yang ke 10 tahun!
Tidak terasa sekali bahwa bulan ini, tepatnya tanggal 5
juli 2015 yang lalu, adalah tahun ke 10 kemandirian Gereja Tuhan di GKP Tanjung
Priok. Waktu yang berjalan membawa kita
memasuki beragam rasa dalam kehidupan bersama. Suka-duka, pahit-manis,
jatuh-bangun … segala rasa ada. Tema “Berjumpa dengan Tuhan dalam Kehidupan
kita” dipilih berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan menyertai kehidupan kita, dalam
segala situasi hidup kita. Termasuk
yang tidak enak – tidak enak itu, sehingga Tuhan bisa membentuk kehidupan kita
menjadi “suatu bejana yang lebih baik dan elok” untuk kemuliaan-Nya.
Sangat
manusiawi bila dalam keadaan yang tidak enak, seseorang bisa saja lupa tentang
apa yang menjadi tema renungan pembuka kita ini. Pergumulan mengeruhkan air
pengharapan, iman dan kasih. Dalam bahasa ayat Alkitab yang menjadi bahan, lupa
bahwa melalui kehidupannya, sekali lagi dalam segala situasi, seseorang selalu
memiliki kesempatan untuk menyatakan Allah. Menyatakan bahwa Dia memiliki
kasih, kuasa dan segala sesuatu yang kita butuhkan untuk bisa … bukan hanya
sekedar bertahan, tetapi meraih kemenangan dalam setiap pergumulan kita.
Yohanes 1:18 menjadi penghubung
kesulitan banyak orang Yahudi yang di dalam Perjanjian Lama, Allah mengatakan
bahwa Dia bukanlah manusia (misal: Bilangan 23:19). Allah memang bukan manusia.
Allah itu adalah Roh (Kejadian 1:2). Di dalam kemanusiaan Yesus itulah Allah
yang adalah Roh itu menyatakan diri-Nya. Itulah sebabnya Yesus kita panggil Tuhan.
Yesus menyatakan bagaimana Allah itu kepada umat ketika Roh Allah berdiam
dibalik tubuh manusia Yesus itu.
Hari
ini, kita pun sebenarnya bisa selalu menyatakan Allah dalam kehidupan kita.
Menyatakan bahwa Allah berkuasa dalam hidup kita; tak peduli seberapa berat
jalan hidup yang kita tempuh, Allah adalah sang empunya kuasa. Bukankah itu yang dinyatakan-Nya dalam
kehidupan jemaat di Galilea? Kita selalu berpikir kita ini kecil, semoga kita
tidak lupa bahwa kita memiliki Allah yang besar. Kita selalu berpikir bahwa
kita ini tidak mampu, semoga kita tidak lupa bahwa kita memiliki Allah yang
Mahamampu.
Selasa, 21 Juli 2015
Tak ada yang tak berarti
Di sini ada seorang anak, yang mempunyai
lima roti jelai dan dua ikan; tetapi apakah artinya itu untuk orang sebanyak
ini? (Yohanes 6:9)
Hampir semua orang berpikir
bahwa “kebesaran” datang melalui sesuatu yang besar, banyak, hebat. Sedangkan
“kecil, sedikit” tentu jauh dari kata “kebesaran”. Hmmmm … tapi tunggu dulu …
Saya ingat satu film berjudul “I Spy”.
Film yang dibintangi oleh Owen Wilson dan Eddie Murphy ini menceritakan tentang
dua agen rahasia Amerika (satunya itu cabutan, yang Eddie Murphy) yang memiliki
misi khusus untuk menangkap buron penjahat internasional. Salah satu adegan
yang saya ingat betul adalah saat Owen Wilson diberi senjata perlengkapan yang
ukurannya besar. Dan di situ dia protes, kira kira begini dia protesnya: “Hey,
di dunia mata-mata (spy), justru semakin kecil senjata dan perlengkapan makin
hebat! Kok saya dikasih perlengkapan yang gede
gini?” Betulkan kalau anggapan banyak orang bahwa kebesaran harus sebanding
lurus dengan hal-hal yang besar itu salah.
Contohnya ya itu tadi, di dunia
mata-mata, kalau perlengkapannya kegedean
ya mana bisa mata-matain musuh? Contoh Alkitabiahnya ada juga kok: Teks yang
menjadi bahan kita hari ini. Sangat familiar ya, Yesus memberi makan 5000
orang. Siapa yang tidak tahu cerita itu? Para murid berpikir keras. Mengapa?
Karena mereka tahunya bahwa kebesaran harus dijawab dengan kebesaran pula.
Itulah sebabnya ayat 9 kita menyebut bahwa sesuatu yang jumlahnya kecil itu
dipertanyakan adakah artinya untuk orang sebanyak ini? Kecil tidak cocok dengan
banyak. Makanya para murid kebingungan sewaktu tahu bahwa 5000 orang itu butuh
makan setelah dalam waktu yang lama mendengarkan Yesus mengajar.
Boleh
tanya kepada kita sekarang? GKP Galilea itu masuk dalam kategori yang mana?
Kecil atau besar? Jangan lupa ya bahwa rumus umumnya adalah kecil tidak cocok
dengan kebesaran. Satu hal yang semoga
tidak kita lupakan (seperti yang pernah dilupakan para murid dalam teks kita),
bagi Tuhan … kecil itu cukup untuk menunjukkan kebesaran-Nya. Kuncinya cuma
satu: adakah semangat dan kerelaan seorang anak kecil seperti yang ada dalam
teks kita hari ini untuk membawa segala sesuatu yang kita anggap kecil itu supaya
melalui kebesaran-Nya, Tuhan dapat melakukan sesuatu yang berarti bagi kita?
Rabu, 22 Juli 2015
Aku Beserta Kamu
Tetapi jawab Yoas kepada semua orang yang
mengerumuninya itu: “Kamu mau berjuang membela Baal? Atau kamu mau menolong
dia? Siapa yang berjuang membela Baal akan dihukum mati sebelum pagi. Jika Baal
itu allah, biarlah ia berjuang membela dirinya sendiri, setelah mezbahnya
dirobohkan orang”. (Hakim-hakim 6:31)
Perkataan “Aku beserta kamu”
yang selalu diucapkan Tuhan kepada kita sangat cukup untuk menenangkan hidup
kita. Tetapi bukankah akan lebih
mendamaikan dan menenangkan jika bukan hanya Tuhan yang berkata itu kepada
kita, melainkan juga orang-orang yang ada di dekat kita berkata kepada kita:
“Aku beserta kamu”. Maksudnya, kita didukung, ditopang, dimengerti, dikasihi,
dibela oleh juga mereka yang ada di dekat kita.
Terbayang
bila hal itu tidak terjadi? Kita tenang karena tahu bahwa Tuhan beserta kita,
tetapi kita di dalam kehidupan kita, kita dikelilingi oleh orang-orang yang
tidak memahami, menopang, dll. dalam hidup kita.
Saya
tidak membayangkan bagaimana nasib Gideon dalam perikop Hakim-hakim 6:25-32
yang telah menghancurkan mezbah Baal, ketika diburu oleh orang Israel yang kala
itu hidup menyimpang dari Tuhan dengan menyembah Baal, apabila orang dekatnya
(yaitu ayahnya sendiri) tidak berkata-kata seperti yang bisa kita baca dalam
ayat 31. Bacalah mulai dari ayat 30, Gideon didakwa mati oleh kerumunan orang
pada saat itu.
Gideon
selamat karena penyertaan Allah dinyatakan melalui keberadaan ayahnya.
Tidakkah
apabila kedua hal itu nyata dalam hidup kita, itu adalah kebahagian yang sangat
luar biasa. Allah menyertai, dan kita juga tahu bahwa orang-orang yang ada di
dekat kita pun beserta dengan kita. Hmmm …
Apabila
bapak dan ibu membaca tema kita hari ini: Aku beserta kamu. Boleh bertanya?
Bapak dan ibu mengira di awal tadi, Aku nya itu siapa? Pasti Tuhan kan. Betul.
Tidak salah juga menjawab Tuhan sih. Tetapi terpikirkah bahwa kata “aku” dalam
tema kita hari ini adalah .. ya aku. Diri kita. Diri kita beserta dengan
orang-orang yang ada di dekat kita.
Jadilah “Aku” yang ada dalam tema kita hari ini. Aku yang juga menyertai
kamu. Kamu yang adalah orang-orang yang ada di sekitar hidupku. Agar karya penyertaan
Allah yang telah nyata dalam hidup kita menjadi semakin nyata dengan
kehadiranmu di dalam hidupku.
Kamis, 23 Juli 2005
Bijak
Karena itu aku berkata kepadamu: Janganlah
bertindak terhadap orang-orang ini. Biarkanlah mereka, sebab jika maksud dan
perbuatan mereka berasal dari manusia, tentu akan lenyap, tetapi jika maksud
dan perbuatan mereka berasal dari Allah, kamu tidak akan dapa meleyapkan
orang-orang ini; mungin ternyata juga nanti, bahwa kamu melawan Allah. (Kisah
Rasul 5:38-39)
Dalam sebuah kebersamaan, apapun
itu, konflik tidak akan pernah bisa dihindari. Perbedaan yang menjadi dasar
hakiki manusia menjadi dasar pula terjadinya konflik. Kita sudah cukup sedih
melihat banyaknya konflik berdarah di Indonesia ini karena perbedaan. Agama,
suku, golongan, partai, dll … semua sangat mudah diprovokasi untuk bisa
menghasilkan sebuah konflik.
Satu
contoh Alkitabiah kita dapati ketika para murid Yesus yang sedang bersemangat
mengabarkan Injil, masuk ke dalam “kandang singa” Yahudi yang siap menerkam
karena perbedaan iman mereka (ayat 28). Ya jelaslah mereka ditangkap dan siap dihukum.
Jika tidak ada satu sosok bijak yang memberikan kesadaran yang awalnya tidak
dipikirkan oleh orang banyak itu.
Yups.
Andai di dunia ini banyak orang seperti Gamaliel yang ada dalam teks kita,
damai lah bumi ini. Mau ada perbedaan apa kek, pasti tidak akan menjadi masalah
jika orang bijak bertebaran di muka bumi ini.
Apakah
kita adalah salah satu orang bijak yang ada di muka bumi ini? Yang mampu
belajar dari beragam peristiwa, seperti Gamaliel belajar dari pengalaman masa
lalu dalam ayat 35-37, sehingga dapat memberikan solusi bijak yang penuh damai
di tengah konflik yang terjadi karena perbedaan?
Bukankah
kita dalam hidup bersama di tengah keluarga dan jemaat juga pasti telah banyak
melewati pengalaman bersama dalam sejarah hidup kita? Saya kadang berpikir,
jika suatu waktu kita marah, lalu kemudian kita bermaafan kembali, lalu apa
untungnya kita marah dahulu itu? Bukan berarti kita tidak bisa menyampaikan
ketidaksetujuan dll, tetapi ini berkaitan dengan cara. Orang bijak akan
menemukan cara-cara yang baik dalam menyelesaikan setiap persoalan yang sedang
dihadapinya.
Jumat, 24 Juli 2015
Penyembuh yang terluka
Tetapi jawab Tuhan kepadaku, “Cukuplah kasih
karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna”.
Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus
turun menaungi aku. (2 Korintus 12:9)
Tuhan tidak selalu mengabulkan
apa yang kita inginkan. Akan tetapi Dia tahu apa yang kita butuhkan. Saya akan
selalu ingat kutipan itu ketika saya merasa … kadang Tuhan itu aneh. Kita
maunya kan baik, ingin sembuh, ingin maju terus, ingin … ah semua yang baik-baik
deh. Tetapi kok malah Tuhan maunya beda. Kan aneh. Selalu akhirnya kita bisa
protes, “emang salahnya apa sih Tuhan akan mau ku itu?” Seringkali Tuhan
menjawab di dalam diam-Nya. Dan itu makin mengesalkan. Karena pasti kita ingin
segala sesuatunya terjelaskan dengan cepat kan ya. Satu hal yang perlu kita
ingat, Tuhan itu memang tipe pendiam … mulut-Nya, tetapi dalam diam mulut-Nya,
tangan-Nya terus berkarya untuk membentuk kehidupan kita sesuai dengan
rencana-Nya yang indah bagi hidup kita.
Pernahkah
bapak dan ibu mengalami perasaan yang sama seperti itu? Dalam hidup keluarga?
Dalam hidup jemaat? Mengalami “Tuhan yang aneh” karena mauku dan mau-Nya tidak
nyambung sama sekali? Lalu apa yang bapak dan ibu lakukan? Marah? Atau seperti
… Paulus dalam teks kita hari ini. Maunya Paulus itu satu, duri di dalam
dagingnya (baca: kesakitannya) itu diangkat oleh Tuhan (ayat 7), tetapi .. itu
lah dia … Paulus juga mengalaminya! Tuhan yang aneh! Mau sembuh kok gak setuju.
Mau ku dan mau-Nya tidak sejalan.
Akan
tetapi, coba bayangkan … bagaimana bisa Paulus sampai pada kalimat: “ .. Sebab
itu aku terlebih suka bermegah atas kelemahanku … “ ?? Satu-satunya jawaban
adalah berefleksi. Mencoba mendengar Tuhan di dalam diam-Nya melalui pekerjaan
tangan-Nya … Tangan-Nya berbisik pada kita selalu: “ … dalam kelemahanlah
kuasa-Ku menjadi sempurna”.
Ketergantungan hidup pada sang pemilik hidup itu sendiri.
Henri
Nouwen, seorang penulis pernah menyebut kalimat ini: Penyembuh yang terluka.
Setiap orang memiliki luka nya masing-masing bukan? Dalam keterlukaan yang ada,
seseorang bisa menjadi seorang yang menyembuhkan. Itu yang dilakukan Paulus
dalam ayat kita, menjadi penyembuh yang terluka. Kita? Yang terluka maka
melukai? Semoga tidak.
Sabtu, 25 Juli 2015
Tidak melihat tapi percaya
Berbahagialah mereka yang tidak melihat,
namun percaya. (Yohanes 20:29)
Ada satu lagi kutipan yang saya
suka. Bunyinya kira-kira begini: Ketika aku tidak dapat melihat tangan Tuhan
berkarya dalam hidupku, aku selalu akan mempercayai hati-Nya. Salah satu
pertanyaan yang sangat sulit di jawab adalah pertanyaan “di mana Tuhan ketika
aku sedang mengalami …?” Bapak dan ibu tinggal mengisi titik-titiknya dengan
hal-hal yang tidak mengenakkan yang sedang dialami oleh bapak dan ibu. Seseorang menjadi tidak percaya karena tidak
melihat tangan Tuhan sedang menjamah hidupnya yang sulit.
Thomas mengalami kesulitan itu.
Di kala para murid yang lain sudah mulai memercayai Yesus telah bangkit dan
menang, satu orang tertinggal di belakang. Thomas. Amat wajar Thomas putus asa.
Sebagai orang Israel pada umumnya, Thomas pasti punya pengharapan besar
terhadap Yesus yang bisa menjadi pemimpin Israel. Ketika Yesus mati, maka
musnahlah harapan itu. Amat wajar pula Thomas mengucap ayat 25 yang monumental
itu: sebelum aku mencucukkan jari ku ke bekas paku dan lambung-Nya, aku tidak
akan percaya. Karena bagi Thomas, orang yang mati lalu bangkit pastilah sesuatu
yang irasional.
Dan inilah yang terjadi
kemudian, Tuhan menjumpai Thomas dan mengubah semua pikiran Thomas tentang
Yesus yang telah mati itu dan yang akhirnya dipercayai bangkit dan menang itu
dengan mata tangannya sendiri.
Dalam ayat kita hari ini, Tuhan
dengan jelas mengatakan bahwa percaya mendahului melihat. Kita tidak akan
pernah melihat apa yang tidak kita percayai. Mau jadi orang sukses? Mau! Sudah
jadi orang sukses? Belum. Percaya bisa jadi orang sukses? Enggak. Nah lho,
gimana bisa melihat kalau tidak percaya?
Mau contoh konkret di jemaat
kita? Bapak dan ibu sewaktu datang ke gereja pasti melihat bangunan atas bukan?
Ada apa di sana? Tidak ada apa-apa. Kita tidak melihat apa-apa. Apa yang jemaat
percaya akan ada di sana? Pastori! Maka percayalah akan datang waktunya kita
akan melihat apa yang kita percayai ada di bangunan atas itu. Bukan perkara apa
yang kita lihat hari ini. Penglihatan kita itu terbatas. Maka tembuslah batasan
itu dengan memercayai apa yang belum kita lihat hari ini. Berbahagialah kita
yang tidak melihat namun percaya.
Minggu, 26 Juli 2015
Perjumpaan Yang Mendewasakan
Hanya dari kata orang saja aku mendengar
tentang Engkau,
tetapi sekarang mataku sendiri memandang
Engkau. (Ayub 42:5)
Kisah hidup Ayub mungkin
merupakan gambaran kehidupan banyak orang di masa kini. Coba kita cek
urutannya: Di izinkan mengalami pencobaan oleh Tuhan, tidak ditopang oleh orang
terdekatnya (istrinya), kehilangan segalanya, bahkan teman-teman datang untuk
menghakiminya. Awalnya Ayub tampak kalem dalam menghadapi itu semua, tetapi di
satu titik kemudian, Ayub berontak. Ayub mempertanyakan dan memprotes keras
Tuhan. Maka Tuhan menjumpainya. Di situlah titik balik kehidupan Ayub. Ayub
yang awalnya kalem, lalu protes keras, lalu akhirnya kembali lagi ke kalem
(kalem itu bahasa jawa, artinya sabar, tenang).
Bagi
beberapa orang di masa kini, mungkin hidup Ayub adalah gambaran kehidupannya.
Sayang, bagi orang masa kini, justru menjadi gambaran yang tidak utuh terhadap
kehidupan Ayub itu sendiri. Maksudnya begini, beberapa orang mengalami itu yang
namanya pencobaan dan segala sesuatu yang dialami Ayub ketika jatuh. Akan
tetapi … sampaikah orang-orang di masa kini hingga pasal terakhir dari lembar
kehidupan Ayub di dalam Alkitab kita? Ketika Ayub dipulihkan, ketika Ayub
menjadi seorang yang … lebih dewasa karena telah mampu melewati pencobaan itu
dengan baik. Itulah persoalan di masa kini, banyak yang mungkin tidak lanjut
hingga happy endingnya.
Kisah
perjalanan hidup jemaat Tuhan di GKP Galilea pun pasti mengalami pencobaan nya
sendiri. Konfliknya sendiri. Dibalik pencobaan selalu tersedia berkat. Segala
sesuatu yang hari ini kita ratapi, tangisi dan membuat kita sedih, suatu hari
bisa menjadikan kita bersukacita. Seperti seseorang yang tidak mengerti akan
ilmu tentang batu akik, sakit karena tersandung bongkahan batu mentah, dia
tidak akan kegirangan. Tetapi bagi orang yang mengerti, dia akan menaruh
pengharapan bahwa yang dijumpainya itu adalah sesuatu yang berharga.
Saya
selalu mengingat ucapan seorang motivator, Anthony Robbins, dia berkata: Jika
suatu hari Anda akan menertawakan pencobaan-pencobaan Anda kemarin, maka kenapa
tidak menertawakannya sejak hari ini saja? Tertawa bahagia karena melalui
pencobaan itulah cara Tuhan mendewasakan kita.